Senin, 21 Juli 2014

si mata biru Aceh

Sejarah si Mata Biru di Nanggroe Aceh Darussalam



Daya Kuala Daya adalah sebuah kemukiman yang menaungi 6 Gampong pada masa jayanya sebuah kerajaan Meureuhon Daya disitulah Sentral pusat pengontrol pusat kerajaan , dan Lamno jaya adalah ibukota Kecamatan Jaya yang terletak di lembah gunung geurutee pesisir barat Aceh Jaya Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

Daerah yang memiliki tujuh kemukiman yang dipecah ke dalam 48 Gampong. Sebagaimana masyarakat Aceh lainnya, Mayoritas penduduk Lamno memeluk agama Islam. daerah Lamno memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah lain.


Daerah tersebut juga terdapat sebuah suku ekslusif (Sebagian keturunan Eropa tersebut menutup diri yang tidak berkimpoi campur dengan penduduk lokal) bernama “suku mata biru” namun jumlahnya relativif sangat sedikit. Bahkan banyak pemuda dari dalam dan luar Aceh terkadang sengaja mencari jodoh kepesisir Barat, siapa tahu mendapatkan “Dara Portugis” tersebut.


Sedangkan menurut cerita penduduk lokal, kaum keturunan Eropa tersebut adalah rombongan keturunan dari umat Muslim yang melarikan diri dari Renquista dari Ratu Isabella dan Ferdinand dari Castilla/Arragorn (Spanyol sekarang) hingga keujung dunia ketika Andalusia ditaklukkan oleh pasukan Salib Bila berkunjung kedaerah Kuala Daya dan Lambeusoi tersebut pasti kita akan menjumpai banyak penduduknya yang berkulit putih serta bermata biru seperti bangsa Eropa. Yang telah menjalin hubungan dagang Sejak masa itu, proses perdagangan antara bangsa Eropa dan Aceh yang sering berkunjung ke Kuala Daya untuk melakukan perdagangan pada era Pra Po Teumeureuhom dengan masyarakat setempat terus berlangsung dalam sejarahnya, dalam perjalanan simata biru banyak yang sudah berpindah alamat kedaerah lain karna sudah menikah dengan Pria diberbagai Daerah lain yang ada di Aceh Mereuhom Daya merupakan sebuah kota dagang yang amat maju pada abad ke 16 banyak memproduksi rempah-rempah dan hasil alam lainya sehingga pedagang dari luar negeri seperti dari Arab , Hindia , China dan Eropa sangat tertarik melakukan pedagangannya di pelabuhan yang sangat megah waktu itu .


Sebelum terjadinya Bencana Alam pada 26 Desember 2004 banyak peneliti dari luar Negeri datang ke Kuala Daya untuk memaikan dan melihat lansung sibiru mata Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004, sebagian daerah Lamno mengalami kehancuran. sangat Parah adalah Kuala Daya 60%Penduduk Meninggal pada Saat Bencana itu dimana keturunan Portugis bertempat tinggal. Walaupun demikian, sebagian di antara mereka juga ada yang selamat.



Lanjutannya :





Musibah tsunami telah menyapu sebuah kelompok penduduk Aceh berdarah
Portugis yang bermukim di Lamno, pesisir Aceh Barat. Jumlah mereka
yang puluhan keluarga itu, kini tinggal beberapa gelintir saja,
kurang dari 10 jiwa. Perempuan Aceh keturunan Portugis, yang cantik
dan dikenal sebagai "Si Mata Biru", habis sama sekali. Radio
Nederland menemukan dua warga Aceh keturunan Portugis yang tersisa,
Cut Pudo dan Jamaluddin Puteh.
Lamno, 200an kilometer dari Banda Aceh, adalah kota cantik di kaki
gunung dengan pantai yang indah, semacam Beirut di pesisir barat
Aceh. Sekarang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya itu tinggal tanah yang
rata, penuh sampah kayu dan pepohonan. Lamno sampai Calang, adalah
daerah yang paling dahsyat diterpa musibah. Yang tersisa hanya desa
desa di kaki gunung.

Si mata biru

Di tepian pantainya yang luluh lantak, di Kampung Kuala, Kuala Daya,
dan Ujung Moloh itulah pernah tinggal sebagian warga Aceh keturunan
Portugis. Tak ada yang membedakan mereka dari warga Aceh lainnya
dari segi apapun, baik nafkah, agama, bahasa, budaya dan pola
pemukiman, satu bukti integrasi Aceh yang kuat dengan unsur asing.
Orang Aceh pun tak punya istilah khusus bagi mereka. Mereka bukan
kelompok warga atau etnik. Satu satunya ciri khusus warga keturunan
Portugis ini hanyalah sosok fisik mereka. Wajah dan mimiknya mirip
orang Eropa. Selebihnya orang Aceh meromantisir mereka dengan
sebutan "Si Mata Biru", meski sebenarnya mereka bermata coklat.

Cut Pudo, 80 tahun, dulu tinggal di desa Alumi, Lamno. Ajaib, dia
selamat dan sempat ikut pengungsi berjalan kaki menuju Banda Aceh.
Dia sekarang menjalani pengobatan oleh tim medis orthopedik dari
Denmark di di Darussalam, Banda Aceh. Nenek delapan dasawarsa itu
berwajah segar, namun psikologis menderita. Traumatik, bingung,
cemas, tak mampu berbahasa Indonesia, dan tak kuasa lagi mengingat
pengalamannya. Bahkan lupa jati diri, dan mengaku bernama Siti Hawa
dan berbicara secara ngawur:

"Ketika dibawa gelombang saya sadar...."

Lelaki putih

Satu satunya warga Aceh keturunan Portugis yang tersisa di Lamno
adalah seorang bapak, nelayan 40 tahun yang hanya dikenal dengan
sebutan "Gamputeh", artinya, lelaki putih. Tak mudah dia ditemukan,
tapi istilah "Gamputeh" itu membuat orang mengenali dan mengetahui
posisinya. Orangnya dikenal baik hati, bersahaja, ramah, sering
mengajak orang minum kopi, tapi jarang menyebut jati dirinya. Kami
temui dia di Posko Kemanusiaan SMA Lamno, belakang masjid. Inilah
Gamputeh yang nama sebenarnya adalah Jamaluddin Puteh, satu satunya
keturunan Portugis yang tersisa di Lamno:

"Ketika itu saya berada di laut, mancing, dan waktu pulang semuanya
hilang."

Jamaluddin kini tinggal dengan istrinya juga Aceh keturunan
Portugis, mereka kehilangan tiga putrinya. Keturunannya tinggal dua
putranya, Dedi Darmadi di Sabang dan Irwandhy di Banda Aceh. Bersama
Cut Pudo, mereka itulah sisa terakhir keturunan pelaut Portugis. Cut
Pudo alias Siti Hawa masih linglung, lupa ingatan. Hanya ketika kami
pamit, dia sempat berucap jelas, dalam bahasa Aceh:

"Terima kasih, jangan lupa jenguk saya lagi."

dicatut dari sumber

Versi Lain Berita Sejarah si Mata Biru di Nanggroe Aceh Darussalam :

Quote:"Si Mata Biru", Orang Aceh Keturunan Portugis

sumber



VIVAnews - Tsunami yang menggulung Aceh, 26 Desember 2004, merenggut lebih dari 100 ribu orang, hanya di Serambi Mekah. Juga nyaris membuat punah 'si Mata Biru', penduduk Aceh keturunan Portugis. Desa-desa mereka tersapu dahsyatnya gelombang gergasi.

Sudah lama Lamno, ibu kota Kecamatan Jaya, populer karena sebagian penduduknya tak seperti warga Aceh kebanyakan. Meski dari kampung, fisik mereka mirip orang Eropa: Mata biru kecokelatan, hidung mancung, kulit putih, rambut pirang, dan perawakan tinggi. Mereka kebanyakan adalah penduduk asli Daya.

Hingga kini, tak catatan pasti mengapa para peranakan Lamno ini sampai ada di kaki Gunung Geureute Aceh Jaya.

Seperti dimuat Radio Nederland, 5 April 2012, seorang warga Desa Ujong Muloh, Wahidin, yang juga punya darah Portugis, mengatakan jumlah para warga keturunan ini sudah sangat berkurang.

Yang ada saat ini, "merupakan keturunan ke delapan karena dari orangtua kami ada yang kelima dan enam. Di kabupaten Aceh Jaya dan khususnya Kecamatan Jaya, dan Kecamatan Indra Jaya di Kecamatan Baru, terdapat beberapa desa yang dihuni oleh penduduk keturunan Portugis yang pada abad ke-14 sampai ke-16 terdampar di daerah kerajaan Daya," cerita Wahidin.

Konon, di zaman dulu, masyarakat Kerajaan Daya menyelamatkan orang-orang Portugis dan menikahkannya dengan penduduk sekitar. Kala itu, kapal perang Portugis terdampar di perairan Lamno. "Desa-desa yang menjadi basis keturunan Portugis, yaitu desa Ujong Muloh, Kuala Daya, Gle Jong, Teumareum dan Lambeso, ini hampir semua wanita dan prianya berciri khas kulit putih, rambut pirang dan hidung mancung. Tambahan lagi, para prianya memiliki bulu tebal di tangan dan dada.

Meski berwajah kaukasia, budaya mereka kental Aceh dan Islam. "Di Lamno pengaruh Islam luar biasa. Tentara Portugis yang telah kimpoi dengan dengan masyarakat Lamno mengikuti agama Islam," kata Wahidin.

Itu versi pertama. Yang kedua, Portugis datang ke Aceh untuk menjajah pada tahun 1519 dan menikah dengan penduduk setempat.

Menurut catatan sejarah di pusat dokumen induk Aceh, Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunia tahun 1292-1295 pernah singgah di kerajaan Daya dan menulis buku tentang kebesaran kerajaan Daya berbaur dengan prajurit Portugis di Lamno.

Pemerintah Portugal sendiri telah menyalurkan bantuan pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan di kawasan tersebut yang masih tersisa. (hp).

1 komentar: